PERATURAN DAN KEBIJAKAN
LAYANAN HUKUM BAGI MASYARAKAT KURANG MAMPU
Digantinya SEMA 10/2010 dengan Perma 1/2014 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam sejumlah hal. Misalnya dalam hal mekanisme pemberian layanan pembebasan biaya perkara atau bisa disebut dengan perkara prodeo.
Mengacu kepada SEMA 10/2010, masyarakat yang ingin berperkara secara prodeo pertama-tama harus mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kepala desa, lurah, atau pejabat yang setingkat dengan itu. Masyarakat juga bisa membawa Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau sejenisnya sebagai bukti bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara.
Berikutnya, dokumen itu diajukan bersama-sama dengan pengajuan surat gugatan/permohonan di pengadilan saat mendaftarkan perkara. Setelah itu, Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut membuat putusan sela untuk memutuskan apakah permohonan berperkara secara Prodeo itu dikabulkan atau tidak.
Jika permohonan itu dikabulkan, maka proses berperkara secara prodeo dilanjutkan hingga perkara diputus. Namun jika permohonan itu tidak dikabulkan, maka penggugat/pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkannya putusan sela. Bila tidak dipenuhi, gugatan/permohonan tersebut akan dircoret dari daftar perkara.
Sementara itu, mengacu kepada Perma 1/2014, mekanisme pembebasan biaya perkara lebih sederhana. Masyarakat yang ingin berperkara secara cuma-cuma tetap diharuskan membawa SKTM atau Jamksesmas atau dokumen lain untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, lalu mendaftarkan gugatan/permohonannya ke pengadilan. Tapi ia tidak harus terlebih dahulu mengikuti sidang dan menunggu putusan sela untuk mengetahui apakah permohonannya untuk mendapatkan pembebasan biaya perkara dikabulkan atau tidak.
Permohonan pembebasan biaya perkara itu diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Malili melalui Kepaniteraan pada loket PTSP. Panitera kemudian memeriksa kelayakan pembebasan biaya perkara dan ketersediaan anggaran. Hasil pemeriksaan Panitera itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan apakah permohonan pembebasan biaya perkara itu dikabulkan atau ditolak. Jika permohonan itu dikabulkan, Ketua Pengadilan mengeluarkan Surat Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara. Namun jika permohonan itu ditolak, maka proses berperkara dilakukan seperti biasa.
Ruang lingkup layanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan terdiri dari:
- Layanan Pembebasan Biaya Perkara;
- Penyelenggaraan Sidang di Luar Gedung Pengadilan;
- Penyediaan Pos Bantuan Hukum Pengadilan.
Untuk syarat, ketentuan dan prosedur layanan bantuan hukum silahkan membaca peraturan dan kebijakan yang mendasari pemberian layanan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan Negeri Malili:
- Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum;
- Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan;
- Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI Nomor: 52/DJU/SK/HK.006/5/Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di PengadilanPeraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan;
- SE Dirjen Badilum Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Layanan Hukum Pembebasan Biaya Perkara (Prodeo).